ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM RESPIRASI : SINUSITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS A.     Anatomi dan Fisiologi Sinus 1.       Anatomi Sinus Pranasal Sinus paranasal merupakan salah sat...



BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Anatomi dan Fisiologi Sinus
1.      Anatomi Sinus Pranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Gambar 2.1 anatomi sinus pranasal
Sumber : http://trialx.com/curetalk/wp-content/blogs.dir/7/files/2011/05/diseases/Sinusitis-3.jpg
Gambar 2.2 Sinusitis
Sumber : http://trialx.com/curetalk/wp-content/blogs.dir/7/files/2011/05/diseases/Sinusitis-3.jpg
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)
a.       Embriologi sinus pranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
b.      Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
c.       Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
nAtap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
d.      Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anakberusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. ( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
e.       Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyaihubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007).
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.      Fisiologi Sinus Pranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Pretz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) . Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :
a)      Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
b)      Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
c)      Membantu keseimbangan kepala
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
d)     Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
e)      Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
f)       Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.



B.     Konsep Dasar Penyakit Sinusitis
1.      Definisi
Sinusitis adalah penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau virus. Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal ( Ballenger JJ, 1999 ). Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur.( Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2007 ).
Jadi kesimpulan dari kelompok kami bahwa sinusitis adalah penyakit infeksi pada mukosa atau selaput lendir hidung yang disebabkan oleh alergi, infeksi virus, bakteri atau jamur yang menyebabkan reaksi inflamasi pada sinus pranasal.
2.      Klasifikasi
Menurut Newman (1994) berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi menjadi sinusitis dibagi menjadi :
a)      Sinusitis akut
Bila gejala yang timbul berlangsung selama 3-4 minggu, beberapa klinisi mengembangkannya hingga 8 minggu dan mengelompokkan ke dalam sinusitis sub akut bila gejala yang timbul berlangsung kurang dari 3 minggu. Gejala yang timbul meliputi infeksi saluran pernapasan atas yang menetap, adanya rhinorhea yang purulen, post nasal drip, anosmia, sumbatan hidung, nyeri fasial, sakit kepala, demam dan batuk.
b)      Sinusitis kronis
Bila gejala yang timbul berlangsung lebih dari 4 minggu dengan gejala seperti pada sinusitis akut. Beberapa klinisi mengembangkannya hingga lebih dari 8 minggu. Pada sinusitis kronik ini umumnya ditemukan kelainan CT atau MRI dan beberapa penderita sinusitis kronis kadang memperlihatkan gejala yang tidak khas.
c)      Sinusitis rekuren
Bila episode sinusitis akut berulang hingga 2-3 kali dalam satu tahun dan kemungkinan disebabkan oleh infeksi yang berbeda pada setiap periodenya.
3.      Etiologi
Sinus paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lendir yang dialirkan ke dalam hidung, untuk selanjutnya dialirkan ke belakang, ke arah tenggorokan untuk ditelan ke saluran pencernaan. Semua keadaan yang mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2 macam, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
Faktor lokal adalah semua kelainan pada hidung yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain infeksi, alergi, kelainan anatomi, tumor, benda asing, iritasi polutan dan gangguan pada mukosilia (rambut halus pada selaput lendir).
Faktor sistemik adalah keadaan di luar hidung yang dapat menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya tahan tubuh (diabetes, AIDS), penggunaan obat-obat yang dapat mengakibatkan sumbatan hidung. Adapun  penyebab lain sinusitis adalah sebagai berikut :
a.       Rinogen
Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh :
1)      Rinitis Akut (influenza)
2)      Polip, septum deviasi
b.      Dentogen
Penjalaran infeksi dari gigi geraham atas
, Penyebabnya adalah kuman :
1)      Streptococcus pneumonia
2)      Hamophilus influenza
3)      Steptococcus viridians
4)      Staphylococcus aureus
5)      Branchamella catarhatis
4.      Patofisiologi
Menurut Mangunkusumo E, Soetjipto D 2007. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya disfungsi silia adalah udara dingin yang dapat menghalangi perkembangan epitel siliaris,sehingga menyebabkan gangguan pergerakan silia dan akhirnya menyebabkan retensi cairan mukosa. Udara kering dapat mengeringkan lapisan mukosa sinus, yang dapat menyebabkan berkurangnya sekresi. Jika terdapat suatu massa di saluran pernafasan dan sinus, seperti polip, benda asing, tumor, dan pembengkakan mukosa oleh karena rhinitis, dapat menghalangi ostium dan menyebabkan tertahannya sekresi dan kemudian menimbulkan retensi mukus yang berujung pada timbulnya infeksi. Sinusitis kronik merupakan peradangan pada sinus paranasalis menetap hingga 12 minggu. Proses peradangan yang menetap tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :
a.       Infeksi persisten
b.      Alergi dan gangguan sistem imun
c.       Faktor intrinsik dan saluran nafas atas (misalnya deformitas)
d.      Kolonisasi dari fungsi yang merangsang inflamasi oleh eosinofil
e.       Gangguan metabolik
Skema 2.1 Patofisiologi Sinusitis
Kuman/Bakteri
Sinus pranasal
Disfungsi silia
Nyeri
Reaksi inflamasi
                
                            
Penumpukan cairan
rasa tidaknya nyaman pada saluran nafas bagian atas ( bau )
        
obtruksi
      Irahat tidu
Gangguan nutrisi
Gangguan  istirahat tidur
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
 



Sumber : Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2007
5.      Pemeriksaan Diagnosis
a.       Rinoskopi anterior : Tampak mukosa konka hiperemis, kavum nasi sempit, dan edema.Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior.
b.      Rinoskopi posterior : Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
c.       Dentogen : Caries gigi (PM1,PM2,M1)
d.      Transiluminasi (diaphanoscopia) : Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
e.       X Foto sinus paranasalis : Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah Posisi Water’s, Posteroanterior dan Lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit. Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan Posisi Lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid
f.       Pemeriksaan CT –Scan : Pemeriksaan CT-Scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
1)      Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
2)      Polip yang mengisi ruang sinus
3)      Polip antrokoanal
4)      Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
5)      Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.


g.      Pemeriksaan di setiap sinus
1)      Sinusitis maksila akut
Pemeriksaan rongga hidung akan tampak ingus kental yang kadang-kadang dapat terlihat berasal dari meatus medius mukosa hidung. Mukosa hidung tampak membengkak (edema) dan merah (hiperemis). Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat ingus kental di nasofaring. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan memasukkan lampu kedalam mulut dan ditekankan ke langit-langit, akan tampak pada sinus maksila yang normal gambar bulan sabit di bawah mata. Pada kelainan sinus maksila gambar bulan sabit itu kurang terang atau tidak tampak. Untuk diagnosis diperlukan foto rontgen. Akan terlihat perselubungan di sinus maksila, dapat sebelah (unilateral), dapat juga kedua belah (bilateral )
2)      Sinusitis etmoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, terdapat ingus kental, mukosa hidung edema dan hiperemis. Foto roentgen, akan terdapat perselubungan di sinus etmoid.
3)      Sinusitis frontal akut
Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi yang terang pada orang normal, dan kurang terang atau gelap pada sinusitis akut atau kronis. Pemeriksaan radiologik, tampak pada foto roentgen daerah sinus frontal berselubung.
4)      Sinusitis sfenoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, tampak ingus atau krusta serta foto rontgen.
6.      Pencegahan
Penderita sinus juga harus tanggap dengan penyakitnya dengan melakukan langkah-langkah berikut seperti dilansir dari Sinuswars (http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology ) :
a.       Segera obati alergi dan pilek
b.      Menggunakan filter udara untuk membantu menghilangkan alergen dari udara.
c.       Hindari polusi udara seperti asap
d.      Hilangkan kebiasaan merokok.
e.       Mengurangi konsumsi alcohol
f.       Kurangi perjalanan melalui jalur udara untuk penderita sinus kronis atau akut. Karena gelembung udara yang terjebak dalam tubuh memuai saat penurunan tekanan udara di pesawat akan memberikan tekanan pada jaringan sekitarnya dan bisa mengakibatkan terhalangnya tabung Eustachio (saluran yang menghubungkan telinga ke tenggorokan). Jika tetap harus bepergian gunakan obat tetes hidung dekongestan atau inhaler sebelum penerbangan.
g.      Minum banyak air putih
h.      Hindari olahraga berenang di kolam renang dengan berklorin
i.        Hindari olahraga menyelam
j.        Hindari suhu ekstrim terlalu panas atau dingin
k.      Mandi uap panas
l.        Mengurangi stres
m.    Gunakan obat herbal alami seperti sirih untuk melancarkan aliran lendir.




7.      Penatalaksanaan
Terapi sinusitis seringkali berupa pengobatan terhadap infeksi traktus respiratorius bagian atas, dengan sinusitis sebagai bagian yang penting. Seringkali infeksinya hanya merupakan penyakit terbatas yang sembuh sendiri dalam waktu singkat, jika tidak disertai komplikasi supurasi.
Pengobatan sinusitis secara lokal intranasal dengan antibiotik tidak berguna, karena obat-obat tersebut tidak cukup luas berkontak dengan permukaan mukosa yang terinfeksi terinfeksi agar dapat berfungsi. Selain itu, dapat terjadi iritasi atau gangguan aktivitas silia, sehingga fungsinya sebagai pembersih mukosa hidung justru semakin terganggu. Adapun penatalaksanan yang dapat dilakukan kepada pasien sinusitis adalah sebagai berikut :
a         Farmakologi
1)      Antibiotik
Karena itu antibiotika dapat diberikan secara sistemik per oral. Pada sinusitis akut diberikan antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala klinis telah hilang. Secara empiris, antibiotika yang dapat diberikan misalnya Amoksisilin (3 x 500mg), Trimetoprim dan Sulfametoksazol (2 x 960 mg), Amoksisilin dan Asam Klavulanat (2 x 500 mg), Klaritromisin (2 x 250 mg), dan Levofloksasin (4 x 500 mg).
2)      Analgesik
Gejala nyeri akibat sinusitis diobati dengan analgetik. Diberikan juga dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Dekongestan ini hanya boleh diberikan untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari), karena kalau terlalu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.



b        Pembedahan.
Terapi bedah pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret yang tertahan oleh sumbatan.
Pada sinusitis maksila dapat dilakukan tindakan pungsi dan irigasi. Pada sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Proetz displacement therapy).
8.      Komplikasi
Menurut Ballenger JJ ( 1999 ). Meskipun komplikasi rinosinusitis sudah jarang dijumpai pada era antibiotik sekarang ini, komplikasi serius masih dapat terjadi.  Yang harus diingat komplikasi rinosinusitis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dan adekuat.  Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena : terapi yang tidak adekuat, daya tahan tubuh yang rendah, virulensi kuman dan penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.
a.       Komplikasi pada organ mata
Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus etmoid dan sfenoid, batas superior sinus frontal dan batas inferior sinus maksila.  Rinosinusitis merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi ke mata, 17 %  berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan.Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-nak lebih sering.  Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Etmoiditis sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maksila. Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
1)      Direk/langsung   : melalui dehisensi konginetal ataupun adanya erosi    pada tulang barier terutama lamina papirasea.
2)      Retrograde tromboplebitis :melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.
Klasifikasi  ada 5 kategori (Chandler at al) :
1)      Selilitis periorbita : gejala yang tampak adanya odem dan hiperemis daerah   periorbita.
2)      Selulitis orbita : tampak adanya proptosis, kemosis, penurunan gerak ekstra okuler.
3)      Abses subperiosteal : tertimbunnya pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Gejala proptosis lebih jelas dan penurunan gerak.
4)      Abses orbita : pus tertimbun di dalam orbita, gejalnya optalmoplegi, proptosis dan kebutaan.
5)      Trombosis sinus kavernosus : sama dengan gejala nomor 4 disertai tanda-tanda meningitis.
b.      Komplikasi intrakranial
Penyebab tersering komplikasi intrakranial adalah sinusitis frontal, diikuti sinusitis etmoid, sfenoid dan maksila.Komplikasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang terbentu.Beberapa jalur untuk terjadinya infeksi ini antara lain :
1)      direk melalui jalan alami
2)      melalui anyaman pembuluh darah.
Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal :
1)      Osteomielitis : penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala tampak odem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di superiosteum.
2)       Epidural abses terdapat timbunan pus diantara duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat longgar pada tulang dahi. Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam.
3)      Subdural empiema, terjadi karena retrograde tromboplebitis ataupun penyebaran langsung dari abses epidural. Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark kortek seperti hemiparesis, hemiplegi,  paralisis n.Facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis dan akhirnya kesadaran menurun.
4)      Abses otak. Lokasi di daerah frontal paling sering disebabkan sinusitis frontal dengan penyebaran retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Bila abses timbul perlahan, gejala neurologi tak jelas tampak, bila odem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur.
5)       Meningitis. Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari sinus etmoid dan sfenoid. Gejala-gejala tampak jelas : adanya demam, sakit kepala, kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma.



C.    Asuhan Keperawatan Teoritis Sinusitis
1.      Pengkajian
a         Anamnesa
1)      Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
2)      Riwayat Penyakit sekarang.
3)      Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4)      Riwayat penyakit dahulu :
a)      Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
b)      Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c)      Pernah menderita sakit gigi geraham
5)      Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6)      Riwayat spikososial
a)      Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
b)      Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7)      Pola fungsi kesehatan
a)      Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b)      Pola nutrisi dan metabolisme : biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c)      Pola istirahat dan tidur : selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
d)     Pola Persepsi dan konsep diri : klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
e)      Pola sensorik : daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
b.      Pemeriksaan fisik
1)      status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
2)      Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
3)      Data subyektif :
a)      Observasi nares :
(1)   riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
(2)   Riwayat pembedahan hidung atau trauma
(3)   Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinyya , lamanya.
b)      Sekret hidung :
(1)   warna, jumlah, konsistensi secret
(2)   Epistaksis
(3)   Ada tidaknya krusta/nyeri hidung.
c)      Riwayat Sinusitis :
(1)   Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
(2)   Hubungan sinusitis dengan musim/ cuaca.
(3)   Gangguan umum lainnya : kelemahan
d)     Data Obyektif
(1)   Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen.
(2)   Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang mengalami radang ? Pucat, Odema keluar dari hidng atau mukosa sinus
(3)   Kemerahan dan Odema membran mukosa
(4)   pemeriksaan penunjung : Kultur organisme hidung dan tenggorokan dan Pemeriksaan rongent sinus.
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Gangguan Rasa Nyaman Nyeri : kepala, tenggorokan , sinus berhubungan dengan peradangan pada hidung
b.       Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis(irigasi sinus/operasi)
c.       Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan dengan obstruksi /adnya secret yang mengental
d.       Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu., nyeri sekunder peradangan hidung
e.       Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
f.        Gangguan konsep diri berhubungan dengan bau pernafasan dan pilek
3.      Intervensi
a.       Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung
Tujuan : Nyeri klien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1)      Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
2)      Klien tidak menyeringai kesakitan



Intervensi
Rasional
a. Kaji tingkat nyeri klien
b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya
c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
d. Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien
e. Kolaborasi dngan tim medis :
1) Terapi konservatif :
- obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung
- Drainase sinus
2) Pembedahan :
- Irigasi Antral :
Untuk sinusitis maksilaris
- Operasi Cadwell Luc
a. Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya
b. Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri
.
c. Klien mengetahui tehnik distraksi dn relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri
d. Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
e. Menghilangkan /mengurangi keluhan nyeri klien

b.      Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi)
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
1)      Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
2)      Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.

Intervensi
Rasional
a. Kaji tingkat kecemasan klien
b. Berikan kenyamanan dan ketentaman pada klien :
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang dengan menyentuh klien )
c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti
d. Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
e. Observasi tanda-tanda vital.
f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis
a. Menentukan tindakan selanjutnya
b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan
c. Meingkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif
d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.
f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien





c.       Kebersihan jalan nafas Jalan nafas berhubungan dengan obtruksi (penumpukan secret hidung) sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret (seous,purulen) dikeluarkan

Kriteria :
1)     Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
2)     Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi
Rasional
a. kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Koaborasi dengan tim medis untuk pembersihan sekret
a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi
c. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret/masalah

d.      Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
Kriteria :
1)      Klien menghabiskan porsi makannya
2)      Berat badan tetap (seperti sebelum sakit ) atau bertambah



Intervensi
Rasional
a. kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
b. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan
c. Catat intake dan output makanan klien.
d. Anjurkan makan sediki-sedikit tapi sering
e. Sajikan makanan secara menarik

a. Mengetahui kekurangan nutrisi klien
b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi meningkatkan pemenuhan nutrisi
c. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien
d. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung
e. Mengkatkan selera makan klien

e.       Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder dari proses peradangan
Tujuan             : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria            : Klien tidur 6-8 jam sehari

Intervensi
Rasional
a. kaji kebutuhan tidur klien.
b. ciptakan suasana yang nyaman.
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat
a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b. Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. Pernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung

COMMENTS

Nama

BAYI,3,MAKALAH,22,Materi,4,PERAWAT,4,TUGAS,6,
ltr
item
Muammar Khadafi: ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM RESPIRASI : SINUSITIS
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM RESPIRASI : SINUSITIS
Muammar Khadafi
http://nurseammar.blogspot.com/2017/06/asuhan-keperawatan-sistem-respirasi_3.html
http://nurseammar.blogspot.com/
http://nurseammar.blogspot.com/
http://nurseammar.blogspot.com/2017/06/asuhan-keperawatan-sistem-respirasi_3.html
true
2977093964499099298
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy